yang muncul dari dulur Hape
Bandung. Ketika harga sebuah
ponsel cerdas, semacam BlackBerry
Bold, pada awal kehadirannya tahun
2008 lalu hampir mencapai Rp 9
juta per unit!
Dengan uang sebesar itu, dulur bisa
membiayai anak masuk sekolah
dasar bergengsi di kota besar,
membeli sebuah motor produk
Jepang terbaru secara kredit,
ataupun jalan-jalan ke Singapura
selama tiga hari dua malam.
Guna melihat contoh lebih ekstrem,
kita tarik lintasan waktu ke tahun
2007. Pada 14 Juni 2007, Nokia
resmi memperkenalkan seri
communicator E90 pertama kali di
dunia dengan mengambil lokasi di
Indonesia.
Kala itu, harga resminya mencapai
Rp10,9 juta. Namun, beberapa bulan
sebelumnya, saat Nokia membuka
lelang penjualan E90 pertama di
dunia, harga pemenangnya (dari
Indonesia) kala itu mencapai US
$5.000 alias Rp45 juta!
Selain produk, ambil contoh dalam
layanan, misalnya BlackBerry
Internet Service/BIS. Saat pertama
kali diperkenalkan ke masyarakat di
akhir 2004 oleh Indosat dan
Telkomsel, tarif layanannya kala itu
rata-rata Rp500.000/bulan.
Bayangkan saja. Di kala mayoritas
pendapatan per kapita masyarakat
Indonesia antara Rp30.000-
Rp50.000 per hari (data BPS 2010),
justru ada yang ‘tega’ berlangganan
layanan BIS hingga sepuluh kali
lipatnya.
Di segmen ritel, seperti langganan
GPRS pada beberapa tahun silam,
paket data juga masih barang
mewah. Sebab, PT Telkomsel
misalnya, melalui layanan prabayar
Simpati, sempat menawarkan
layanan Rp12 per Kb.
Maka, produk dan layanan super
mahal seluler adalah pemandangan
yang harus dihadapi masyarakat
Indonesia beberapa tahun lalu. Atau
katakanlah, pada periode tahun 1996
hingga 2008 lalu. Kala itu seluler
identik ekslusifitas, borjuis.
Namun, semuanya berubah seketika
terutama saat Facebook/FB mulai
memasyarakat di Indonesia di akhir
2008 serta keberanian PT XL Axiata
merilis layanan BIS harian
terjangkau hanya Rp5.000 di tahun
yang sama.
Dengan tuntutan keberadaan ponsel
cerdas dalam mengoperasikan situs
jejaring sosial yang amat populer
itu, maka masyarakat awam mulai
merilik peranti semacam BlackBerry,
ponsel Android, dan sejenisnya.
Tanpa ponsel cerdas, menjalankan
FB terasa hambar. Di sisi lain, karena
intensitas yang tinggi,
menggunakan situs sosial tersebut
haruslah setiap waktu dan tak
terbebani oleh tarif berlangganan
Internet mahal.
Inilah yang kemudian mendorong
hadirnya ponsel cerdas terjangkau
dengan menu tetap handal
semacam Samsung Galaxy Mini
(Rp1,6 juta), BlackBerry Gemini
(Rp2,3 juta), Sony Ericsson Mini Pro
(Rp2,3 juta), dst.
Maka, perpaduan antara
meningkatnya pengguna ponsel
cerdas di masyarakat dengan
hadirnya layanan BIS yang
terjangkau, akhirnya menghasilkan
skala ekonomis dan ekosistem pasar
yang tinggi.
Skala ekonomis inilah yang
membuat harga ponsel cerdas terus
menukik, tak ada lagi cerita ponsel
cerdas seharga biaya anak masuk
sekolah! Tak ada lagi kabar
menabung lama demi ponsel cerdas
seharga puluhan juta rupiah.
Tarif layanan paket data pun
menurun tajam. Tak lama setelah XL
merilis paket harian tersebut, yang
lain merespon amat gencar —saking
cepatnya merespon, masyarakat
kerap dibuat kebingungan sendiri.
Sebutlah tarif kustomisasi BIS
(chatting-email dan chatting-social
network) dari Indosat hanya
Rp45.000 per bulan. Demikian pula
dengan tarif rata-rata bulanan BIS
yang kini berkisar Rp90.000-
Rp100.000.
Pada titik ini, rasanya wajar-wajar
saja jika kita mengapresiasi
keberanian vendor dan operator
(baca: BlackBerry dan XL) di tanah air
yang menginisiasi layanan premium seluler
menjadi makin hari makin
membumi.
Dulur, begitulah esensi komunikasi
seluler, bukan? Menyambungkan
seluruh segmen lapisan masyarakat
–bawah, menengah, dan atas–
melalui layanan bervariasi yang
handal dan memudahkan hidup,
namun tetap dengan tarif ramah.(bisnis-jabar)
0 komentar:
Posting Komentar